Senin, 13 Desember 2010

Sosiologi Dakwah


Dakwah Tanpa Kekerasan di Era Modern

Misi utama diutusnya Nabi Muhammad SAW ke muka bumi adalah untuk berdakwah. Berbagai bentuk benturan dihadapi beliau dengan kesabaran yang luar biasa, yang kadang-kadang ‘di luar’ kewajaran sebagai manusia. Mereka yang memusuhi Nabi ternyata dibalas beliau dengan kasih. Nabi SAW selalu menyatakan bahwa mereka belum mengerti tentang Islam. Pengemis buta yang Yahudi, yang senantiasa mencemoohkan nama Nabi SAW ternyata justru disuapinya setiap hari tanpa sepengetahuan pengemis tersebut. Subhanallah.
Di era modern seperti saat ini dakwah seperti yang dicontohkan Nabi SAW jelas masih sangat relevan. Meski sekarang tantangan terbesar telah bergeser akibat semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) KH Ma’ruf Amien, secara tidak langsung, konsep dakwah Islamiyah harus mampu bersinggungan dengan kecanggihan-kecanggihan teknologi, terutama teknologi informasi (TI).
“Beberapa ormas Islam mulai melirik teknologi informasi untuk mengembangkan konsep dakwah baru,” ujarnya saat dihubungi tim At-Tanwir. Amien yang juga menjabat Ketua Komisi Fatwa MUI menyatakan, beberapa strategi dakwah untuk mengantisipasi arus globalisasi telah dilaksanakan. Seperti melalui dakwah seluler, penerbitan buku-buku, tayangan-tayangan dakwah di televisi sampai penggunaan situs internet sebagai media dakwah. “Tapi semunya harus dilakukan dengan cara yang bijak,” tegasnya.
Ustadzah Lutfiah Sungkar juga mengaku dakwah dengan memanfaatkan teknologi saat ini cukup efektif. Ia pun mengaku telah bergabung sebagai salah satu narasumber Alquran Seluler. Dengan demikian ia dapat memberikan nasihat yang dapat didengarkan oleh banyak orang. Ini membuat jangkauan dakwah akan bertambah luas. “Saya bersykur karena dengan menjadi narasumber bisa membantu membentuk generasi Qurani,” jelasnya.
Dr. H. Miftah Faridl, Ketua Yayasan Pendidikan Islam (YPI) UNISBA sekaligus Ketua MUI Jabar menambahkan, saat ini dakwah secara verbal saja dipandang tidak cukup. Apalagi, kata dia, dengan kemajuan teknologi yang makin akrab dalam kehidupan kita. “Barangkali dakwah secara verbal itu hanya untuk suatu komunitas tertentu masih berlaku. Tapi untuk menghadapi situasi global seperti sekarang ini kita memerlukan suatu pendekatan yang canggih pula,” jelasnya.
Menurut Miftah, perkembangan teknologi saat ini bukan untuk dihindari, karena itu jelas tidak mungkin. “Kita perlu berinteraksi dengan era global. Seperti dengan memanfaatkan teknologi yang ada, memanfaatkan computer, dan alat-alat canggih lainnya,” cetusnya. Namun demikian, Miftah mengaku dakwah secara verbal memang masih diperlukan untuk masyarakat tertentu dengan jumlah yang cukup besar dan masih memerlukan bimbingan-bimbingan secara intensif.
“Dan menurut saya memang perlu adanya sinergi. Selama ini kelemahan kita sebagai umat Islam karena kurang bersinergi. Yang punya modal tidak bersinergi dengan yang punya ilmu, misalnya. Yang punya ilmu tidak bersinergi dengan yang punya massa, katakanlah begitu. Nah, itu seharusnya bersinergi,” ajaknya. Miftah mengingatkan, siapa pun tidak boleh mengarahkan dakwah sampai pada pengkultusan. Bagaimanapun, kata dia, dakwah tak dibenarkan jika sampai menimbulkan gejala kultus. “Tetapi sekali lagi, menanamkan kepercayaan kepada pemimpin itu penting. Ajaran agama juga menanamkan supaya percaya pada pemimpin.
Selama ini kelemahan kita karena kurang begitu percaya kepada pemimpin, itu juga salah,” ingatnya. Sementara itu, juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto, mengungkapkan, membebaskan manusia melalui tegaknya kembali kehidupan Islam, yang di dalamnya diterapkan syariah Islam, harus diawali dengan menggugah kesadaran umat terhdp jatidiri sebagai manusia yang diciptakan Allah untuk beribadah dan mewujudkan kerahmatan Islam di atas muka bumi.
“Kesadaran ini hanya mungkin dilakukan dengan metode fikriyyah seperti yang dilakukan Rasulullah, yakni memasukkan pemikiran Islam ke dalam diri umat, bukan dengan kekerasan, karena kekerasan tak akan menghasilkan kesadaran. Sesat pikir hanya bisa diluruskan dengan pikiran baru yang benar, bukan dengan kekerasan,” ingatnya. Menurut Ismail, pihaknya selama ini melakukan ini sebagai ittiba’ (mengikuti) tharîqah (metode) dakwah Rasulullah.
Selama dakwahnya di Makkah, meski menghadapi banyak sekali tantangan, termasuk tantangan fisik, kata dia, Rasulullah tetap fokus pada penyadaran; memanggil akal, rasa, dan nurani manusia ketika itu untuk benar-benar beriman kepada Allah. “Terbukti, cara seperti itulah yang telah mengubah banyak orang ketika itu, termasuk Umar bin al-Khaththab, yang awalnya sangat menentang, menjadi pembela Islam yang terkemuka,” jelasnya.
Adapun mantan Rektor Universitas Ibnu Khaldun Bogor KH Didin Hafiduddin menegaskan, kegiatan dakwah harus dilakukan secara terus menerus dan komprehensif, baik secara individual, maupun kolektif dengan memanfaatkan berbagai media seefektif mungkin, membangun ekonomi umat, serta membangun dan memperkuat ukhuwah Islamiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar